Senin, 01 Februari 2010

keledai itu

Keledai
Siapa bilang keledai tak akan jatuh dua kali di lubang yang sama? Siapa pula yang masih percaya pada pepatah lama itu? Bukan karena pepatah itu salah, bukan. Bukan pula karena pepatah itu bodoh, bukan. Tentu saja pepatah itu bermaksud mengajarkan kebaikan. Agar kita para manusia selalu berhati-hati dalam melangkah. Agar kita para manusia selalu belajar pada kesalahan dan tak mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya, dan tentu saja juga untuk ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya. Namun siapa yang bisa menjamin keledai tak akan jatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya? Tak ada yang bisa, kurasa. Karena hidup bukan hanya tentang dua pilihan. Bukan hanya tentang benar atau salah, mau atau tidak mau, ada atau tidak ada, ataupun tentang ya atau tidak, kurasa. Hidup ini berliu-liku. Terlalu berliku-liku, kurasa. Liku-liku yang menawarkan terlalu banyak lubang yang membuat keladai tak lagi ingat lubang yang mana yang pernah membuatnya jatuh, kurasa. Oh…
Keledai bodoh itu berjalan menyusuri jalan yang berliku, sangat berliku itu. Ia berjalan mantap, seakan ia yakin dirinya tak akan jatuh di jalan itu. Atau setidaknya ia masih percaya pepatah lama itu, sehinga ia yakin sekalipun terjatuh kemudian jatuh lagi dan lagi, jatuh yang kedua akan berada di lubang yang berbeda dengan jatuh yang pertama, dan seterusnya. Langkahnya tegap, dadanya membusung, sepanjang perjalanannya di jalan yang berliku itu ia terus menoleh ke kanan dan ke kiri tersenyum seolah berkata “this is my way, the good way”. Sampai akhirnya salah satu kaki belakangnya terperosok sebuah lobang dan iapun terjatuh. Aneh memang kenapa kaki belakangnya yang terperosok sedang kaki depannya telah berhasil menghindari lubang itu.agak aneh memang tapi sekali lagi hidup bukan hanya tentang benar atau salah, mau atau tidak mau, ada atau tidak ada, ataupun tentang ya atau tidak, kurasa. Dalam jatuhnya, ia melihat sekuntum bunga mekar di tepi jalan. Iapun bangun mendekati bunga itu dan menciumnya. Ingin rasanya memetik bunga mekar itu namun tak dilakukannya. Dia berfikir bunga itu akan segera layu dan kering jika dipetik, kurasa. Keledai bodoh itu berjalan lagi. Kali ini langkahnya makin tegap, dadanyapun makin membusung, sepanjang perjalanannya ia terus menoleh ke kanan dan ke kiri tersenyum makin lebar seolah berkata “this is my way, the best way”. Sampai akhirnya salah satu kaki belakangnya terperosok sebuah lobang dan iapun terjatuh. Dalam jatuhnya, ia melihat sekuntum bunga mekar di tepi jalan.
Oh kasihan, kenapa harus keledai yang selalu terperosok, kenapa pula lubang itu yang selalu membuat keledai itu jatuh. Ataukah karena bunga? Oh…

1 komentar:

  1. Entah Arfian siapaku (pacar bukan, teman pun lebih, suami belum), aku bangga pernah hadir dalam hidup seorang yang hebat. Kenapa orang mengatakan keledai itu bodoh sementara mereka masih saja menggunakan jasanya? Sebenarnya siapa yang bodoh?

    BalasHapus